Sering kita mendengar pernyataan bahwa wanita adalah makhluk agung yang harus dimuliakan dimana pun mareka berada. Memang tak salah pernyataan itu.tengoklah betapa besarnya jasa seorang ibu, wanita yang dengan ikhlas mengandung kita selama kuramg lebih sembilan bulan, membesarkan kita dengan penuh kasih saying, dan selalu memaafkan meskipun kita selalu membuat kesalahan yang mungkin tanpa kita sadari telah membuatnya terluka. Namun pernyataan di atas masih tak cukup mendukung untuk menghindarkan wanita dari pembedaan sikap. Masih saja kita jumpai terjadi diskriminasi terhadap wanita disana-sini.
Diskriminasi terhadap wanita cukup kasat mata.
Ketika wanita masuk dunia kerja, sering mendapat pekerjaan yang paling susah di pabrik atau kantor, dengan upah yang paling rendah, sekaligus terus dibebani dengan kebanyakan tugas rumah tangga seperti memasak, mencuci dan mengasuh anak-anak. Tak jarang pula mereka menderita pelecehan seksual dan pemerkosaan, sekaligus dalam media massa dari pornografi sampai ke iklan biasa mereka digambarkan sebagai makhluk yang cantik atau sensual saja, sepertinya tidak mempunyai ciri yang lain. Namun ironisnya, jika perempuan berhubungan seks terlalu bebas, pasti dicap "tanpa susila". Kalau terjadi kecelakaan, susah mencari pengguguran yang masih dilarang di beberapa negeri, termasuk Indonesia.
Semua perempuan mengalami penindasan ini, dari yang berpangkat tinggi seperti Putri Diana sampai yang paling rendah seperti pengemis di pinggir jalan. Namun penindasan tersebut dampaknya tidaklah sama kepada setiap perempuan. Meskipun di kalangan bisnis para eksekutif wanita masih merupakan minoritas, buat perempuan kaya toh ada cara untuk mengurangi beban ketertindasan yang tidak tersedia kepada perempuan miskin. Kalau disimak secara obyektif, penindasan perempuan bukan berasal dari kepentingan kebanyakan laki-laki. Sebaliknya, seorang buruh laki-laki pasti akan beruntung jika upah istrinya dinaikkan. Bila kaum buruh perempuan memperjuangkan gaji yang lebih tinggi, perjuangan tersebut akan memberikan semangat kepada para buruh laki-laki untuk ikut berjuang. Dalam konteks keluarga, kaum laki-laki juga tidak beruntung jika istri-istri mereka harus kerja sampai tenaga mereka terkuras.. Lain halnya dengan kelas burjuis yang berkuasa (termasuk pemilik modal, pejabat tinggi, jendral-jendral dll, tetapi juga istri-istrinya). Mereka jelas beruntung dari penindasan perempuan rakyat kecil. Selama banyak wanita rakyat jelata bekerja habis-habisan dalam keluarga, para majikan terus mendapatkan tenaga kerja murah, baik dalam bentuk tenaga kerja pabrik/kantor, maupun dalam bentuk pembantu, tukang kebun dll yang begitu menggembirakan hati wanita kaya.
Selama diskriminisi terhadap perempuan bertahan di tempat kerja, kaum buruh lebih sulit bersatu untuk memperjuangkan perbaikan nasib, maka kaum majikan beruntung lagi. Kondisi buruh wanita memang sangat menyedihkan. Selain menerima upah yang lebih kecil dari buruh pria, buruh wanita harus melakukan pekerjaan yang berat bagi fisik mereka. Banyak layanan, jasa dan tunjangan yang tidak mereka dapatkan. Tak jarang buruh wanita sering diperlakukan secara tidak adil, ditindas dan bahkan mengalami pelecehan seksual.
Pernyataan tegas Amnesty Internasional, 8 Maret 2000 yang dikeluarkan bersamaan dengan Hari Perempuan Nasional (Ant, 7/3/2000) menyebutkan, bahwa kaum perempuan masih menjadi warganegara kelas dua di banyak wilayah dunia, sementara soal persamaan hak seringkali cuma sebatas lips service. Perlakuan diskriminatif terhadap kaum perempuan pun masih terus terjadi, terutama dalam dunia kerja. Pernyataan tegas dari Amnesty Internasional itu juga mengisyaratkan bahwa kaum perempuan masih sering menjadi korban UU dan praktik diskriminatif yang seringkali menjadi "bungkus" atas nama agama, tradisi dan budaya, bahkan sering dijadikan sebagai objek dari sistem politik dalam rangka mendapatkan posisi-posisi politik.
Wanita, Objek Kerja
Diskriminatif terasa lebih mencolok lagi di dunia kerja, baik menyangkut upah, hak cuti, haid maupun cuti hamil di samping terbatasnya kesempatan dan perbedaan jabatan struktural. Masih terjadinya diskriminasi terhadap pekerja perempuan ini menurut hemat penulis lebih disebabkan belum diaplikasikannya Konvensi PBB secara benar, meski pemerintah sudah meratifikasi melalui UU No 7/1984. Perlakuan diskriminatif di dunia kerja Indonesia sangat dirasakan kaum perempuan yang merupakan benang merah dalam sistem pengupahan, perbedaan jabatan struktural dan lainnya. Kalau saja kita konsekuen meratifikasi Konvensi Internasional (ILO) bukan mustahil masalah perburuhan yang memuat hak-hak dasar buruh tak akan ada lagi diskriminasi antara pekerja perempuan/pria. Padahal pada saat konferensi dunia mengenai perempuan IV di Beijing, China tahun 1995 telah dibuat kesepakatan untuk memperbaiki nasib perempuan. Namun perkembangan positif hak-hak dan perlindungan perempuan ternyata masih sedikit betul yang terangkat. Kesalahan demi kesalahan dalam upaya melindungi hak perempuan mencerminkan masih sangat kurangnya kemauan politik pemerintah untuk membuat perubahan nyata dalam kehidupan kaum perempuan.
Inilah kunci pokok untuk mengerti penindasan yang dialami kaum perempuan. Sistem kapitalis mengandalkan pekerjaan tanpa upah yang dilakukan kaum ibu di dalam keluarga, untuk menghasilkan tenaga kerja baru. Segala unsur lain dari penindasan perempuan - diskriminasi di tempat kerja, stereotip seksual, bahkan pelecehan dan pemerkosaan - berkaitan dengan dan memperkuat peranan rumah tangga ini.
Di Indonesia sendiri, diakui atau tidak, selama ini wanita masih saja ditempatakan pada kedudukan yang kurang menguntungkan di masyarakat. Sering kali wanita ditempatkan pada posisi kedua. Meski memang tak semuanya menunjukkannya secara eksplisit, tetapi sejulah indikasi memperlihatkan bahwa dalam banyak hal memang posisi kaum pria cenderung ditempatakn lebih berkuasa, lebih berhak memimpin, bahkan lebih berhak untuk menguasai lawan jenisnya. Dalam konteks hubungan yang tidak seimbang inilah, kaum wanita pada akhirnya sering diperlakukan dengan tidak enak, kurang menguntungkan bahkan merugikan baik secara fisik maupun secara mental. Kejadian seperti ini juga menimpa wanita dalam hal pekerjaan. Padahal telah jelas-jalas adanya undang-undang yang melarang adanya diskriminasi terhadap wanita dalam hal apapun termasuk dalam hal pekerjaan.
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan
Diantara kesepakatan internasional penting yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia adalah Konvensi PBB tentang "Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan" pada tahun 1984. Konvensi ini mewajibkan negara untuk merumuskan kebijakan, hukum dan program-program yang berkaitan dengan pencapaian persamaan antara laki-laki dan perempuan.
Jika dibaca dengan seksama, Konvensi ini dengan jelas mendasarkan asumsinya pada kenyataan bahwa ketidaksetaraan perempuan dan laki-laki merupakan konstruksi sosial. Ketidaksetaraan tersebut tidak terjadi secara alamiah dan oleh karena itu tidak akan terhapus secara alamiah pula melainkan harus dilakukan tindakan proaktif untuk menghapuskannya. Itulah sebabnya mengapa Konvensi ini meletakkan kewajiban kepada negara untuk melakukan segala hal yang perlu untuk menghapuskan diskriminasi tersebut melalui hukum, kebijakan dan program-programnya dan harus melaporkan pelaksanaannya kepada PBB, dalam hal ini Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan. Konvensi ini tampaknya juga menyadari bahwa adalah sulit bagi negara untuk menghilangkan semua penghambat kesetaraan dan keadilan gender dalam waktu cepat. Jangka waktu empat tahun yang ditetapkan oleh Konvensi untuk melaporkan pelaksanaan dan kemajuan upaya-upaya penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, dianggap cukup untuk melakukan penilaian.
Pemerintah Indonesia sebelum meratifikasi konvensi PBB mengenai anti diskriminasi dalam segala bentuk bagi wanita ini juga sudah mulai memperhatikan perlindungan bagi buruh perempuan. Pada awal kemerdekaan, tepatnya pada tahun 1948, pemerintah Indonesia telah menerbitkan Undang-Undang (UU) perburuhan Nomor 12 Tahun 1948, tentang Undang-Undang Kerja Tahun 1948, kemudian diberlakukan untuk seluruh Indonesia pada tahun 1951 dengan Nomor 1 tahun 1951. Di dalam UU No. 1 tahun 1951, ini terdapat beberapa pasal yang mengatur perlindungan bagi buruh perempuan khususnya untuk hak reproduksi, yaitu mengenai cuti haid, gugur kandung, melahirkan, kesempatan menyusui anak. Yang kemudian menjadi referensi UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan termasuk pasal-pasal yang mengatur perlindungan hak reproduksi bagi perempuan. Yang di dalamnya telah diatur dengan seimbang.
Namun sayang, sejauh ini kebijakan dan program yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia tidak banyak mengurangi ketimpangan dan kesenjangan jender antara perempuan dan laki-laki. Sebab pokoknya adalah karena kebijakan-kebijakan yang diterapkan pemerintah terhadap perempuan baik dari segi hukum, kelembagaan dan ideologinya sangat bias jender. UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 31 (3) dan Pasal 34 (1) (3), misalnya, dengan jelas mengukuhkan peran stereotype laki-laki (sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah) dan perempuan (sebagai ibu dan pengurus rumah tangga) Dari segi kelembagaan, pemerintah lebih banyak memberi dukungan kepada organisasi-organisasi (misalnya PKK dan Dharma Wanita) yang memberikan manfaat politis dan menjalankan kebijakan pemerintah yang bias jender.
Buka Mata dan Tunjukan Pada Dunia
Sudah saatnyalah kita membuka mata dan menyadari bahwa, wanita dan pria memang berbeda. Oleh sebab, itu peran, hak dan kewajiban diantara mereka berbeda. Namun perbedaan ini tak bisa dijadikan alasan untuk melakukan diskriminasi terhadap wanita. Apalagi terhadap hal yang menyangkut hak asasi sebagai sesama menusia. Memang tidak ada larangan bagi seorang wanita untuk bekerja dan mencari nafkah untuk menghidupi dirinya sendiri ataupun untuk membantu dalam mencukupi kebutuhan keluarganya.
Namun, hal ini tak seharusnya menjadi masalah yang berlarut-larut dan menimbulkan perdebatan di sana-sini. Perlakuan tidak menyenangkan yang
diterima oleh wanita di tempat kerja atau prosedur kantor dan pekerjaan yang merugikan dari hari ke hari masih lmenjadi topic pembicaraan yang hangat. Tengok saja betapa tidak manusiawi dan tidak terlihat sedikitpun menghargai wanita tindakan yang dilakukan terhadap para TKW yang ada di luar negeri sana, contohnya di Malaysia. Mereka disiksa, mengakalami pelecehan seksual, kekerasan, bahkan tidak sedikit yang diperkosa. Tapi kasus yang semacam ini masih belum dapat ditangani dengan baik, seolah-olah mengentengkan dan menganggap remeh, diplomasi yang pemerintah lakukan tidak menunjukan taringnya sama sekali. Sehingga semakin kuatlah anggapan dahwa diskriminasi itu masih tumbuh subur di negara yang –katanya- demokratis ini. Masih adanya sikap sebagian orang yang meremehkan perempuan seperti itu jelas amat sangat memprihatinkan. Bukankah di mata Tuhan yang namanya pria dan perempuan itu sama,setara?
Daftar Pustaka
Agus Salim, Lutfi. 2008 Hand Out Pengantar Kesehatan Reproduksi “Konstruksi Sosial Seksualitas Manusia” Surabaya. Hal.19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar